Pendahuluan
Setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketujuh, Presiden Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi segera menetapkan berbagai rencana dan langkah strategis yang akan dilakukan dalam 5 tahun masa pemerintahannya. Salah satu konsep utama yang berulang kali disebutkan adalah keinginan Jokowi untuk memantapkan status Indonesia sebagai poros maritim dunia (global maritime fulcrum), yang juga menjadi identitas Indonesia di dalam tataran politik internasional. Apa yang mendasari munculnya inisiatif ini? Langkah-langkah apa yang terkandung dalam ide besar ‘poros maritim global’ ini? Kepentingan apa yang ingin diperoleh Indonesia melalui strategi ini? Penulis akan menggunakan sebuah perspektif kontemporer dalam menjawab pertanyaan-pertanyan tersebut, yaitu Constructive Realism.
Revitalisasi Kemaritiman Indonesia
Sebelum mengupas lebih dalam mengenai Poros Maritim Global, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan konsep ini. Berdasarkan letak geografis dan sejarah, Indonesia dianggap memiliki potensi maritim yang sangat besar, namun dalam 69 tahun masa kemerdekaannya, belum dapat mengoptimalkan potensi tersebut, dan saat ini, diplomasi diharapkan menjadi instrumen utama dalam merealisasikan hal tersebut. Pada salah satu seminar mengenai ‘Maritime Fulcrum and Foreign Policy’, Wakil Menteri Luar negeri Indonesia, Bapak A.M. Fachir menyatakan bahwa poros maritim dapat dielaborasikan ke dalam lima elemen utama, yaitu:[1]
- Membangkitkan budaya maritim
- Membangun infrastruktur maritim
- Akselerasi pengembangan sumber daya maritim
- Menjadikan persoalan perbatasan maritim sebagai fokus diplomasi
- Memperkuat keamanan maritim
Fachir juga menyatakan bahwa konvergensi antara poros maritim dan diplomasi merupakan hal yang krusial agar konsep ini dapat diaplikasikan dengan optimal di semua fora. Tidak hanya menjadikan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sebagai fokus politik luar negeri, Indonesia juga akan terus beerjasama dengan negara tetangga untuk menyelesaikan permasalahan bperbatasan, melindungi sumber daya laut, dan menjamin keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia. Selain itu, sebagai wujud politik bebas aktif, Indonesia juga akan berperan aktif dalam menyusun solusi dalam sengketa Laut China Selatan dan menjaga stabilitas kawasan.[2]
Poros Maritim Dunia Sebagai Perwujudan Constructive Realism
Constructive Realism adalah paradigma hibrida yang merupakan buah pemikiran penulis berdasarkan pengalaman dan kajian selama menjadi mahasiswa Hubungan Internasional, yang juga telah dikemukakan oleh beberapa akademisi lain, seperti Jae Wook Jung dari Sookmyung Women’s University di Korea Selatan. Penulis beranggapan bahwa Constructive Realism merupakan jembatan penghubung antara paradigma realis yang begitu empiris, dengan konstruktivis yang sangat filosofis. Secara garis besar, penulis mendefinisikan constructive realism sebagai ‘pembentukan dan pemanfaatan ide, konsep, dan identitas, untuk meningkatkan power yang dimiliki negara’. Di lain pihak, Jae Wook Jung menjabarkan constructive realism dalam pengertian ‘ide-ide dapat menentukan penggunaan power dalam politik internasional, dan mendukung implementasi teori-teori realis’.[3]
Pemanfaatan ide, konsep dan identitas yang dikonstruksi oleh negara bukanlah hal baru dalam hubungan internasional, seperti kampanye war on terror, one china policy, look to the East, one silk one road, hingga konstruksi-konstruksi yang sifatnya regional, seperti ASEAN, Asia Afrika, G-20, dan masih banyak lagi. Persamaan dari konsep dan identitas diatas adalah membangun persepsi masyarakat internasional melalui klaim atas suatu kawasan, kegiatan, maupun peran yang sebelumnya tidak ada. Hal ini sama seperti klaim Indonesia yang menjadikan dirinya sebagai pusat dari maritim dunia. Berdasarkan lima elemen utama poros maritim yang disebutkan sebelumnya, terlihat adanya usaha Indonesia untuk memperbesar ‘kapasitas’ yang dimilikinya di bidang maritim, baik dari segi hard power maupun soft power.
Dari segi tujuan politis (political objectives) Indonesia ingin kembali membangun awareness masyarakat internasional akan keberadaan dan statusnya sebagai salah satu kekuatan maritim di dunia internasional. Sebagai sebuah poros, Indonesia tidak hanya menunjukkan kapasitas dan posisi strategisnya, hal ini juga digunakan untuk mendukung dan menegaskan poin yang berulang kali disebutkan mengenai ‘kedaulatan’ dan ‘perbatasan’. Tujuan ini sejalan dengan tiga prinsip dasar realisme, yaitu Statism, yang menyatakan bahwa negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, dan kedaulatan menandakan adanya suatu komunitas independen, yang memiliki otoritas yuridis atas suatu wilayah.[4] Selanjutnya survival, dimana tujuan utama setiap negara adalah mempertahankan keberlangsungan hidupnya[5], dimana keberlangsungan ini ditandai dengan kemampuan negara untuk mempertahankan otoritas nya atas suatu wilayah yang telah ditandai dengan batas-batas tertentu. Yang terakhir adalah adalah self-help, dimana tidak ada institusi atau negara lain yang dapat diandalakan untuk menjamin keberlangsungan negara[6], oleh karena itu, dalam pembentukan identitas posos maritim dunia ini, Indonesia tidak melibatkan negara maupun intitusi lain di dalamnya. Hal yang menarik adalah bahkan prinsip dasar realisme ini telah menunjukan adanya keterkaitan dengan konstruktivisme, dimana konsep ‘negara’ itu sendiri sebenarnya adalah salah satu bentuk konstruksi, seperti apa yang disebut Benedict Anderson sebagai ‘imagined community’[7]. Dengan demikian, pembentukan identitas tidak hanya terjadi dalam level sistemik, tetapi juga dalam level negara, yang keduanya sama-sama bertujuan memperoleh power untuk tujuan yang sama.
Dalam hal ekonomi, pembentukan identitas sebagai poros maritim dunia tertuang dalam dua poin mengenai ‘membangun infrastruktur maritim’ dan ‘akselerasi pegembangan sumber daya maritim’. Pembentukan identitas sebagai poros maritim tidak hanya menunjukkan adanya ekstensifikasi dalam memaksimalkan territorial laut Indonesia, tetapi juga optimalisasi melalui intensifikasi pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, yang selama ini dianggap belum maksimal, dikarenakan identitas Indnesia saat ini yang lebih dikenal sebagai negara agraris. Kembali kita dapat melihat bahwa Indonesia berusaha meningkatkan kapabilitas ekonominya dengan memanfaatkan sumber daya alam laut dan memperbaharui teknologi dan infrastruktur yang berkaitan dengan kemaritiman, dimana hal ini diperoleh dengan membangun identitasnya sebagai negara maritim yang sempat ‘ditinggalkan’. Apa yang dikatakan A.M. Fachir berkaitan dengan ‘kita harus membangun kembali budaya kita, sudah terlalu lama kita memalingkan diri dari laut. Masyarakat harus menyadari dan memahami bahwa identitas, kesejahteraan, dan masa depan kita akan ditentukan oleh seberapa dalam hubungan kita dengan laut. Kita harus bisa mengulang kejayaan nenek moyang kita dahulu”.[8] Pernyataan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat ditentukan dengan identitas Indonesia sebagai negara maritim, yang belum terbangun saat ini. Pernyataan ini sejalan dengan definisi Alexander Wendt mengenai konstruktivisme sebagai ‘pembentukan ide, dan pemahaman serta pengetahuan berdasarkan konteks sosial dan historis[9], dimana hal ini dapat berubah sesuai konteks.
Terakhir dari sisi militer, Indonesia memanfaatkan identitas poros maritim ini sebagai justifikasi untuk meningkatkan kapabilitas militernya, seperti yang tertuang dalam poin ‘memperkuat keamanan maritim’. Dengan statusnya sebagai pusat dan tokoh dominan di perairan, Indonesia dituntut untuk memiliki kapabilitas yang mumpuni untuk menjaga tidak hanya keamanan wilayah perairannya, tetapi juga stabilitas kawasan secara umum. Untuk itu diperlukan adanya instrumen seperti kapal laut yang lebih modern, personil militer yang terlatih, dan perangkat keamanan lainnya. Gestur peningkatan kapabilitas militer sebagai betuk pengamanan wilayah dapat menghindarkan munculnya security dilemma, yang akan timbul jika hanya digunakan untuk mengamankan territorial internal.
Kesimpulan
Poros Maritim Dunia dapat dilihat sebagai konsep, ide, maupun identitas, yang dikonstruksikan oleh Indonesia, dengan tujuan meningkatkan kapabilitas/power Indonesia di berbagai dimensi. Pembentukan identitas ini merupakan perwujudan konkret dari constructive realism, yang akan menentukan political behavior Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri. Namun demikian, ide, konsep dan identitas ini bukanlah sesuatu yang ajeg, dan dapat berubah di masa depan, sesuai dengan kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh Indonesia.
[1] A.M. Fachir. “Getting the Concept of Maritime Fulcrum”, dipresentasikan pada Seminar on Maritime and Foreign Policy, 11 Mei 2015.
[2] Ibid.
[3] Jae Wook Jung. 2013. “Making Constructive Realism?”. The Korean Journal of International Studies, Vol.11. The Korean Association of International Studies. Hal. 1
[4] Tim Dunne dan Brian C. Schimdt, dalam John Baylis, Steve Smith, dan Patricia Owen. 2008. Globalization of World Politics. Oxford University Press. hal.100
[5] Ibid. hal.103
[6] Ibid.
[7] Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di ‘Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism. 2006. Verso
[8] A.M. Fachir. “Getting the Concept of Maritime Fulcrum”, dipresentasikan pada Seminar on Maritime and Foreign Policy, 11 Mei 2015.
[9] Alexander Wendt, “Anarchy Is What States Make of it: The Social Construction of Power Politics, “International Organizations 46-2 (1992), hal. 403-407